Selasa, 05 Januari 2016

Refleksi Perkuliahan 4: Filsafat Pendidikan Matematika



Peradaban Dunia

Perkuliahan keempat mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 11 November 2015 pukul 12.40 – 14.20 bertempat di Ruang PPG1 FMIPA UNY.
Perkuliahan kali ini berbeda dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, karena pada pertemuan tersebut dihadiri oleh empat orang mahasiswa S3 yang melakukan observasi kelas. Pada kesempatan itu, Bapak Marsigit memberikan penjelasan mengenai “Peradaban Dunia”. Adapun hasil refleksi berdasarkan penjelasan Bapak Marsigit adalah sebagai berikut.
Objek kajian filsafat adalah semua yang ada dan mungkin ada. Manusia tidak mampu menyebutkan sifat dari apa yang ada dan mungkin ada tersebut, karena pada hakikatnya manusia memiliki keterbatasan. Semua sifat itu semilyar pangkat semilyar belum selesai disebutkan. Oleh karena manusia tidak mampu menyebutkan semua sifat itu, maka untuk bisa memahaminya manusia melakukan reduksi. Maka dapat dikatakan bahwa sebenar-benar manusia adalah reduksionis. Dalam hal ini, reduksi adalah memilih sifat yang memang bisa diketahui. Sifat tersebut dipilih sesuai dengan tujuan. Adapun tujuaannya adalah untuk membangun dunia, minimal dunia didalam pikiranku sendiri.

Sebenar-benar hidup adalah interaksi antara yang tetap dan berubah. Tetap, misalnya lahir, mati, dewasa, tua, mati itu adalah tetap ciptaan Tuhan. Berubah, misalnya diriku, belum selesai aku mendefinisikan diriku yang tadi telah berubah menjadi diriku yang sekarang. Segala yang ada dan mungkin ada di dunia adalah adalah berstruktur. Laki-laki dan perempuan adalah struktur, aku dan bukan aku adalah struktur, ada dan mungkin ada adalah strurktur, tetap dan berubaha adalah struktur. Maka yang tetap biasanya adalah didalam pikiran, sedangkan yang berubah itu ada diluar pikiran. Tetap tokohnya adalah Permenides, maka muncul aliran filsafat Permenidesisme. Sedangkan berubah tokohnya adalah Heraclitus, maka muncul aliran filsafat.. Sifat yang lain adalah absolute, maka muncul aliran filsafat absolutism atau Platonisme dengan tokohnya adalah Plato.
Sifat yang berubah misalnya adalah real, yang berangkat dari dunia nyata. Maka muncul aliran filsafat realism atau Aristotelesisme dengan tokohnya adalah Aristoteles. Kebenarannya dalam pikiran agar ia bisa menjadi ilmu adalah konsisten/koheren. Filsafatnya adalah koherentisme. Kekonsistenan atau koherennya itu berlaku karena terdapat hokum identitas, yaitu I = I. Hal tersebut hanya berlaku didalam pikiran. Jika diluar pikiran, maka berlaku I  I. Hal tersebut dikarenakan yang berada diluar pikiran itu terikat oleh ruang dan waktu. Maka yang diluar pikiran kebenarannya bersifat cocok atau korespondensi, maka muncul filsafat korespondensialisme. Oleh karena terikat ruang dan waktu, maka I1  I2.
Dengan menaikkan dimensinya, maka muncul sifat transenden, sehingga muncul filsafat transendensialisme. Dalam hal ini, transenden adalah sifat yang dimiliki oleh dimensi diatasnya. Misalnya adalah dosen transenden mahasiswa. Transenden adalah subjek dari objeknya. Maka yang punya sifat transenden adalah para dewa. Jika dimensinya dinaikkan lagi, maka menjadi spiritual, maka muncul aliran filsafat spiritualisme. Konsisten/koheren dalam pikiran itu kebenarannya adalah satu, yaitu Tuhan atau mono, maka muncul aliran filsafat monoisme atau monism. Maka kaum spiritualis itu pasti monoisme, yang kebenarannya hanya satu, yaitu kuasa Tuhan. Sedangkan di bumi memiliki berbagai macam sifat (plural), maka muncul aliran filsafat pluralism. Kebenarannya bersifat relative, maka muncul aliran filsafat relativisme.
Mengalir dalam sejarahnya, koheren/konsisten didalam pikiran itu pake logika, maka muncul aliran filsafat logisisme dengan tokohnya adalah Sir Betrand Russel Dunia real adalah pengalaman atau empiris, maka muncul aliran filsafat empirisisme dengan tokohnya adalah David Hume. Logika dari sisi kerjanya dan rasio dari sisi kemampuannya, maka muncul aliran filsafat rasionalisme dengan tokohnya adalah Rene Descartes. Konsisten didalam pikiran meliputi rasio atau logis, yang semuanya bersifat formal. Maka muncul aliran filsafat formalism, dengan tokohnya adalah Hilbert. Formal cirrinya adalah mementingkan wadahnya. Maka mengerucutlah rasio dengan empiris, dengan dunianya masing-masing.
Kemudian, pada tahun 1671 muncullah Immanuel Kant. Ia menganalisis kejadian-kejadian yang terjadi terkait rasio dan empiris. Analitik itu antara ide dan konsisten. Maka orang dikatakan tidak bisa memperoleh ilmu apabila ia tidak bisa mereduksi. Disamping bersifat analitik, pikiran manusia bersifat a priori. A priori merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa harus mengindra terlebih dahulu. Maka a priori belum mengerti kejadiannya tetapu sudah paham. Misalnya dokter membantu pasiennya melalui jasa telpon. Melalui gejala-gejala yang diberitahu, dokter mengerti apa yang harus dilakukan oleh pasien, meskipun belum melihat pasiennya secara langsung. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki yang bersifat analitik, ia bersifat a priori, yaitu bisa mengambil keputusan walaupun tidak mengindranya. Yang berupa pengalaman adalah bersifat a posteriori. A posteriori adalah pengetahuan yang diperoleh dengan mengindranya terlebih dahulu baru bisa paham. Misalnya adalah dokter hewan. Untuk mengerti sakitnya pasien, dokter harus melihat kondisinya secara langsung. Sintetik dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang saling berhbungan sebab-akibat. Dari uraian tersebut, maka diambil yang bawah sintetiknya dan yang atas yaitu a priorinya. Maka inilah sebenar-benar ilmu menurut Immanuel Kant, yaitu yang bersifat sintetik a priori. A priori dipikirkan dan sintetik dicoba. Maka lahirlah metode Saintifik. Maka berfilsafat adalah pikirkan pengalamanmu dan terapkan pikiranmu. Kemudian, muncullah problema filsafat, yaitu apabila sesuatu didalam pikiran bagaimana menjelaskan kepada orang lain dan apabila diluar bagaimana cara memahaminya. Ternyata, manusia ada yang membuktikannya. Ia bernama Socrates. Ia berusaha memahami semua yang ada dan mungkin ada tak satupun yang ia ketahui. Maka Socrates mengatakan sebenar-benar diriku adalah tidak mengetahui apapun. Hingga pada akhirnya muncullah bendungan Compte oleh Augguste Compte pada tahuan 1800an. Ia mengatakan bahwa untuk membangun dunia, tidaklah perlu filsafat dan agama. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa untuk membangun dunia menggunakan metode positif atau saintifik. Hal yang demikian disebut dengan fenomena Compte. Menurutnya, dilihat dari makro dan mikro, untuk membangun dunia ia lebih memilih dunianya daripada akhiratnya. Contoh konkritnya adalah seseorang yang memiliki handphone baru, kemudian ia lalai dalam sholatnya, maka dikatakan bahwa ia telah terkena fenomena Compte. Dewasa ini, fenomena Compte telah menyebar dan kita semua terkena tanpa terkecuali. Akibatnya, lahirlah gejala teknopoli, yaitu bertekuk lututnya budaya didepan teknologi. Maka tidak jarang jika kita menemukan bahwa kesenian dipertunjukkan bukan untuk ritual, tetapi untuk promosi agar dikunjungi oleh banyak wisatawan. Hal yang demikian menyebabkan terjadinya loss generation.
Segala sesuatu di dunia ini berstruktur dan berdimensi. Seperti halnya orang Indonesia dalam struktur material, formal, normative, dan spiritual, dimana dasarnya adalah Pancasila. Pancasila itu monodualis, yaitu memuat hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhannya. itulah yang selalu menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Maka yang terjadi adalah belum mantap kita menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam diri menyelinaplah fenomena Compte, yang menembus ruang dan waktu.
Struktur dunia kontemporer dari tingkatan paling bawah adalah: Archaic, Tribal, Tradisiional, Feudal, Modern, Postmodern, Post posr modern (Powernow). Spiritual diletakkan diatas dunia tradisonal, maka dalam situasi seperti ini bangsa Indoensia tidak mampu berkembang. karena setiap hari kita digempur habis-habisan oleh Powernow. Oleh karena tidak ada modus spiritualnya, Negara-negara lemah akan kehilangan jati diri. Orang yang lemah kedudukannya serba salah, bagaikan anak ayam kelaparan di atas makanannya sendiri. Banyak pejabat yang korupsi, akibatnya terjadi krisis kepercayaan, sehingga dianggap tidak ada oleh rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar