Rabu, 13 Januari 2016

Jawaban Ujian Akhir Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Matematika


Soal
1.      Jelaskan yang dimaksud ontologi matematika, dan berilah contohnya.
2.      Jelaskan yang dimaksud epistemologi matematika, dan berilah contohnya.
3.      Jelaskan yang dimaksud aksiologi matematika, dan berilah contohnya.
4.      Jelaskan yang dimaksud ontologi pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
5.      Jelaskan yang dimaksud epistemologi pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
6.      Jelaskan yang dimaksud aksiologi pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
7.      Jelaskan herminitika matematika, dan berilah contohnya.
8.      Jelaskan herminitika pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
9.      Jelaskan phenomenologi matematika, dan berilah contohnya.
10.  Jelaskan phenomenology pendidikan matematika, dan berilah contohnya.

1.      Ontologi dapat didefinisikan sebagai kajian filsafat mengenai hakikat segala sesuatu yang ada, baik konkrit maupun abstrak. Sedangkan matematika adalah sarana berfikir untuk memperoleh pengetahuan, sebagai alat untuk membantu pemecahan masalah, sebagai bahasa yang melayani perkembangan ilmu pengetahuan baik sosial, ekonomi maupun ilmu alam, dan bersifat terstruktur karena adanya saling keterkaitan antar konsep di dalamnya. Maka ontologi matematika adalah mencari akar, hakikat, dan dasar terdalam dari kenyataan matematika. Ontologi matematika berusaha menjawab seputar apa yang dikaji dalam matematik dalam hal ini, ontologism berusaha merefleksikan dan menginterpretasikan kenyataan matematika, kemudian secara implicit menghadirkannya sebagai suatu pengetahuan yang berguna dalam pergaulan denga orang lain, serta secara eksplisit dapat dirumuskan dalam bentuk-bentuk formal untuk mendapatkan tema-tema yang bersesuaian (Marsigit dkk, 2015: 83-84). Masih dalam sumber yang sama disebutkan bahwa pendekatan ontologism bergerak diantara dua kutub, yaitu pengalaman akan adanya kenyataan matematika yang konkrit dan kenyataan matematika sebagai mengada, dimana diantara keduanya saling menjelaskan. Berdasarkan pengalaman tentang kenyataan matematika, dapat disadari mengenai hakikat matematika, tetapi mengadanya kenyataan matematika akan memberikan pengalaman konkrit bagi diri tentang hakikat kenyataan matematika. Oleh sebab itu, pendekatan ontologism dalam memahami kenyataan matematika merupakan lingkaran hermenitik antara pengalaman dan mengada tanpa bisa dikatakan mana yang terlebih dahulu. Penjelasan ontologism mengenai kenyataan matematika tidak dapat dimulai dengan cara menentukan definisi-definisi atau teorema-teorema, melainkan hanya dapat ditampakkan bahwa matematika merupakan suatu cabang filsafat matematika.

2.        Dalam kajian pondasi epistemologis matematika terdapat pandangan mengenai epistemologi standar, meliputi kajian tentang kebenaran, kepastian, universalisme, objektivitas, rasionalitas, dan sebagainya (Marsigit dkk, 2015:134). Ernest dalam Rezky Agung (2012:2) menjelaskan bahwa pendekatan epistemologi mengasumsikan bahwa pengetahuan dalam bidang apapun diwakili oleh seperangkat proposisi bersama dengan prosedur untuk memverifikasi kebenarannya. Maka dari itu, matematika terdiri dari satu set proposisi bersama dengan bukti-buktinya. Sederhananya, epistemologi matematika menjawab apakah semua pernyataan matematika mempunyai tujuan dan menentukan suatu kebenaran. Menurut Kant dalam Marsigit dkk (2015:135), metode yang benar untuk memperoleh kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai pengetahuan a priori. Hal tersebut disebabkan validitas objektif dari pengetahuan matematika diperoleh melalui bentuk a priori dari sensilibitas manusia yang memungkinkan diperolehnya pengalaman inderawi. Lebih jauh, Marsigit dkk (2015:142) menyebutkan bahwa Kant dan para pengikutnnya percaya bahwa pondasi epistemologis matematika memuat pandangan  bahwa representasi a priori dari akal budi mengenai konsep ruang dan waktu telah memberikan objek murni bagi penyelidikan matematika, yang pada akhirnya menghasilkan teori matematika tentang dunia empiris. Contohnya adalah menyebut bahwa kebutuhan matematika sebagai pengetahuan intuitif didorong pada kenyataan bahwa matematika abstrak non-intuisi memuat berbagai inkonsistensi.
3.        Aksiologi matematika mempelajari secara filosofis mengenai hakikat nilai atau value dari matematika. Dalam hal ini, nilai adalah fenomena atau konsep ; nilai sesuatu ditentukan oleh sejauh mana fenomena atau konsep itu sampai kepada makna atau arti. Setidaknya nilai matematika memuat empat dimensi, yaitu matematika mempunyai nilai karena maknanya, matematika mempunyai nilai karena keunikannya, matematika mempunyai nilai karena tujuannya, dan matematika mempunyai nilai karena fungsinya (Hartman dalam Marsigit, 2015:157). Masing-masing dimensi matematika tersebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang bersifat intensif dan ekstrinsik. Lebih jauh, aksiologi matematika terdiri dari etik dan estetika. Etik membahas aspek kebenaran, tanggungjawab, dan peran matematika dalam kehidupan, sedangkan estetika membahas terkait keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain . Misalnya jika seseorang mempelajari dan menerapkan matematika hanya untuk dirinya sendiri, maka hal yang demikian pengetahuan matematika bersifat instrinsik
4.        Ontologi pendidikan matematika dapat diartikan sebagai usaha meninjau pendidikan matematika dari sudut pandang hakikat atau maknanya. Dalam hal ini, pendidikan matematika di sekolah hendaknya diarahkan kepada peningkatan kemampuan berpikir dan pemecahan masalah. Lebih lanjut, terdapat perbedaan antara matematika sebagai ilmu dan matematika sekolah (Sumardyono, 2004: 43). Perbedaan tersebut terletak pada penyajian, pola pikir, keterbatasan semesta, dan tingkat keabstrakan. Maka dapat dikatakan bahwa matematika sekolah lebih difokuskan pada pembentukan nalar dan sikap matematis dalam diri siswa melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Maka matematika sekolah tidak harus selalu diawali dengan definisi, aksioma, ataupun teorema, karena pada dasarnya matematika sekolah merupakan kegiatan mencari pola/hubungan dari konsep-konsep matematika dan kegiatan pemecahan masalah. Selain itu, pendidikan matematika di sekolah juga harus mempertimbangkan tahap-tahap perkembangan kognitif peserta didik. Hal tersebut dikarenakan peserta didik dapat belajar dengan optimal jika sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Dengan demikian, pendidikan matematika dimulai dengan memahami ontologi matematika sekolah, misalnya dengan memahami hakikat matematika sekolah dan karakteristik matematika sekolah yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik.
5.        Epistemologi berkaitan dengan metode. Maka epistemologi pendidikan matematika berkaitan dengan bagaimana cara atau metode yang digunakan oleh pendidik dalam membelajarkan peserta didiknya. Dalam hal ini, dengan menjadikan peserta didik sebagai pusat dan subjek pembelajaran, karena pada hakikatnya belajar merupakan kebutuhan dari peserta didik itu sendiri. Dengan begitu, peserta didik dituntun untuk aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran dalam rangka mengkonstruksi pengetahuan menurut dirinya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode yang baik digunakan dalam pembelajaran adalah metode yang dapat memudahkan siswa dalam memahami konsep matematika, misalnya penggunaan metode pembelajaran saintifik yang dapat membantu siswa menemukan konsep melalui kegiatan penemuan kembali/percobaan/eksperimen.
6.        Secara filosofis, aksiologi pendidikan matematika membahas mengenai hakikat nilai atau value dari pendidikan matematika. Dalam hal ini, berlangsungnya proses belajar mengajar di sekolah tidak hanya bertujuan untuk menjadikan peserta didik unggul dari aspek kognitif, tetapi juga unggul pada aspek afektif dan psikomotorik. Sehingga pendidik memiliki peranan penting dalam proses belajar mengajar. Pendidik tidak hanya terfokus pada aspek kognitif, tetapi juga mengutamakan nilai-nilai karakter yang meliputi etik, estetika, sopan santun dan lain sebagainya. Hal tersebut bertujuan agar pengetahuan matematika yang diperoleh dapat diterapkan atau digunakan untuk hal-hal yang baik.
7.        Herminitika matematika tujuannya adalah mengungkap makna. Maka herminitika matematika dapat diartikan sebagai usaha mengungkap makna dari kenyataan matematika yang tertulis atau matematika sebagai data empiris. Dalam konteks filsafat, herminitika matematika dapat didefinisikan sebagai dimensi refleksif dari diri subjek yang bersifat inheren di dalam usahanya secara aktif untuk memproduksi proporsi-proporsi yang berkaitan dengan kenyataan matematika di dalam ruang dan waktu. Dalam hal ini, di satu sisi herminitika matematika memberi jaminan akan kemampuan subjek diri mengungkap kenyataan matematika tetapi di sisi lain memberikan rambu-rambu sampai batas mana subjek diri berkehendak mengungkap kenyataan di dalam dunia-dunia lain selain dari pada dunia dirinya (Marsigit dkk, 2015:180-181)
8.        Menurut Marsigit dkk (2015:219), hermenitika pendidikan matematika dapat digambarkan sebagai garis lurus dan melingkar. Dalam pembelajaran matematika, terdapat dua hal didalamnya, yaitu teori dan praktik. Dengan memandang teorinya, pembelajaran matematika dapat diibaratkan sebagai garis lurus. Pembelajaran matematika akan terus berjalan maju dan tidak dapat terulang. Walaupun terulang, hal tersebut tidak akan sama karena berbeda dalam ruang dan waktu. Sedangkan secara praktiknya, pembelajaran matematika diibaratkan sebagai lingkaran spiral. Hal ini berarti pembelajaran matematika saling terkait dan tidak terputus. Semakin besarnya lingkaran spiral menandakan bahwa permasalahan dalam pembelajaran matematika semakin kompleks, sehingga semakin dalam pemahaman seseorang terhadap konsep matematika semakin kompleks permasalahan yang ditemukan. Misalnya, di bangku Sekolah Dasar, siswa diajarkan mengenai keliling dan luas lingkaran. Di bangku SMP, siswa juga mempelajari keliling dan luas lingkaran. Hal yang membedakan materi Lingkaran Sekolah Dasar dan materi Lingkaran SMP terletak pada keluasan dan kedalaman materi yang diajarkan serta semakin kompleksnya masalah yang diajukan.
9.        Phenomenologi adalah aliran filsafat yang menjadikan fenomena sebagai pusatnya. Phenomenologi merupakan pendekatan filsafat yang menyelidiki kesadaran dan objek-objek kesadaran. Maka phenomenologi matematika dapat diartikan sebagai suatu tinjauan terhadap relasi matematika sebagai subjek dari prinsip-prinsip matematika sebagai objek. Dalam hal ini, sejauh mana relasi-relasi subjek tersebut, apakah hanya menemukan, mereproduksi atau memfotokopi konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika dari relasi tanpa terdapat hubungan saling timbal balik (intersional) ataukah terdapat hubungan korelatif yang erat antara kesadaran subjek dengan prinsip-prinsip matematika sebagai fenomena sedemikian sehingga tidak ada matematika tanpa kesadaran dan tidak ada kesadaran matematis tanpa fenomena matematika. Filsafat matematika adalah tentang persoalan dasar-dasar logis matematika, dan hakikat angka, bukti, dan sebagainya, sedangkan phenomenologi matematika adalah tentang matematika sebagai sebuah aktivitas kesadaran dan juga tentang pengalaman sewaktu melakukan matematika. Contohnya adalah fenomenologi bilangan. ada kisah yang dikisahkan Imam Ali yang ditanya oleh pendeta Yahudi, “bilangan mana yang habis dibagi satu sampai sepuluh?” kemudian Ali menjawab kalikanlah jumlah harian dalam seminggu (30 x 12 x 7 = 2520). Hal ini menunjukkan bahwa matematika berkorelasi dengan alam raya, sehingga kebenaran rumus-rumus matematika berhubungan secara harmonis dan simetris dengan kebenaran alam raya.
10.    Phenomenologi memperlihatkan proses memperoleh ilmu pengetahuan dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa melalui gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan yang bersifat mutlak. Phenomenologi menurut Husserl menekankan pada watak intensional kesadaran, tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Maka phenomenology pendidikan matematika dapat terjadi dalam proses belajar peserta didik. Ketika peserta didik mempelajari suatu hal yang baru atau untuk mengetahui fenomena matematika, segala pemahaman-pemahaman yang telah dimiliki mengenai matematika ditangguhkan untuk sementara pada suatu tempat yang disebut epoche, kemudian berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pemahaman-pemahaman yang ada sebelumnya. Contohnya adalah ketika pendidik membelajarkan teorema Phytagoras. Maka segala pemahaman-pemahaman yang telah dimiliki oleh peserta didik mengenai teorema Phytagoras ditangguhkan terlebih dahulu, kemudian berusaha membuktikan kebenaran bahwa pada segitiga siku-siku kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat dari sisi siku-sikunya.


Daftar Pustaka:
Marsigit dkk. (2015). Filsafat Matematika dan Praksis Pendidikan Matematika. Yogyakarta: UNY Press.
Sumardyono. (2004). Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika. Paket Pembinaan Penataran. Yogyakarta : PPPG Matematika..
https://www.academia.edu/5536142/ONTOLOGI_-_Revisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar