Soal
1. Jelaskan
yang dimaksud ontologi matematika, dan berilah contohnya.
2. Jelaskan
yang dimaksud epistemologi matematika, dan berilah contohnya.
3. Jelaskan
yang dimaksud aksiologi matematika, dan berilah contohnya.
4. Jelaskan
yang dimaksud ontologi pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
5. Jelaskan
yang dimaksud epistemologi pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
6. Jelaskan
yang dimaksud aksiologi pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
7. Jelaskan
herminitika matematika, dan berilah contohnya.
8. Jelaskan
herminitika pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
9. Jelaskan
phenomenologi matematika, dan berilah contohnya.
10. Jelaskan
phenomenology pendidikan matematika, dan berilah contohnya.
1. Ontologi
dapat didefinisikan sebagai kajian filsafat mengenai hakikat segala sesuatu
yang ada, baik konkrit maupun abstrak. Sedangkan matematika adalah sarana
berfikir untuk memperoleh pengetahuan, sebagai alat untuk membantu pemecahan
masalah, sebagai bahasa yang melayani perkembangan ilmu pengetahuan baik
sosial, ekonomi maupun ilmu alam, dan bersifat terstruktur karena adanya saling
keterkaitan antar konsep di dalamnya. Maka ontologi matematika adalah mencari
akar, hakikat, dan dasar terdalam dari kenyataan matematika. Ontologi
matematika berusaha menjawab seputar apa yang dikaji dalam matematik dalam hal
ini, ontologism berusaha merefleksikan dan menginterpretasikan kenyataan
matematika, kemudian secara implicit menghadirkannya sebagai suatu pengetahuan
yang berguna dalam pergaulan denga orang lain, serta secara eksplisit dapat
dirumuskan dalam bentuk-bentuk formal untuk mendapatkan tema-tema yang
bersesuaian (Marsigit dkk, 2015: 83-84). Masih dalam sumber yang sama
disebutkan bahwa pendekatan ontologism bergerak diantara dua kutub, yaitu
pengalaman akan adanya kenyataan matematika yang konkrit dan kenyataan
matematika sebagai mengada, dimana diantara keduanya saling menjelaskan.
Berdasarkan pengalaman tentang kenyataan matematika, dapat disadari mengenai
hakikat matematika, tetapi mengadanya kenyataan matematika akan memberikan
pengalaman konkrit bagi diri tentang hakikat kenyataan matematika. Oleh sebab
itu, pendekatan ontologism dalam memahami kenyataan matematika merupakan
lingkaran hermenitik antara pengalaman dan mengada tanpa bisa dikatakan mana yang
terlebih dahulu. Penjelasan ontologism mengenai kenyataan matematika tidak
dapat dimulai dengan cara menentukan definisi-definisi atau teorema-teorema,
melainkan hanya dapat ditampakkan bahwa matematika merupakan suatu cabang
filsafat matematika.
2.
Dalam kajian pondasi epistemologis
matematika terdapat pandangan mengenai epistemologi standar, meliputi kajian
tentang kebenaran, kepastian, universalisme, objektivitas, rasionalitas, dan
sebagainya (Marsigit dkk, 2015:134). Ernest dalam Rezky Agung (2012:2) menjelaskan
bahwa pendekatan epistemologi mengasumsikan bahwa pengetahuan dalam bidang
apapun diwakili oleh seperangkat proposisi bersama dengan prosedur untuk
memverifikasi kebenarannya. Maka dari itu, matematika terdiri dari satu set
proposisi bersama dengan bukti-buktinya. Sederhananya, epistemologi matematika
menjawab apakah semua pernyataan matematika mempunyai tujuan dan menentukan
suatu kebenaran. Menurut Kant dalam Marsigit dkk (2015:135), metode yang benar
untuk memperoleh kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai
pengetahuan a priori. Hal tersebut
disebabkan validitas objektif dari pengetahuan matematika diperoleh melalui
bentuk a priori dari sensilibitas
manusia yang memungkinkan diperolehnya pengalaman inderawi. Lebih jauh, Marsigit
dkk (2015:142) menyebutkan bahwa Kant dan para pengikutnnya percaya bahwa
pondasi epistemologis matematika memuat pandangan bahwa representasi a priori dari akal budi mengenai konsep ruang dan waktu telah
memberikan objek murni bagi penyelidikan matematika, yang pada akhirnya
menghasilkan teori matematika tentang dunia empiris. Contohnya adalah menyebut
bahwa kebutuhan matematika sebagai pengetahuan intuitif didorong pada kenyataan
bahwa matematika abstrak non-intuisi memuat berbagai inkonsistensi.
3.
Aksiologi matematika mempelajari secara filosofis
mengenai hakikat nilai atau value dari matematika. Dalam hal ini, nilai adalah
fenomena atau konsep ; nilai sesuatu ditentukan oleh sejauh mana fenomena atau
konsep itu sampai kepada makna atau arti. Setidaknya nilai matematika memuat
empat dimensi, yaitu matematika mempunyai nilai karena maknanya, matematika
mempunyai nilai karena keunikannya, matematika mempunyai nilai karena
tujuannya, dan matematika mempunyai nilai karena fungsinya (Hartman dalam
Marsigit, 2015:157). Masing-masing dimensi matematika tersebut selalu berkaitan
dengan nilai-nilai yang bersifat intensif dan ekstrinsik. Lebih jauh, aksiologi
matematika terdiri dari etik dan estetika. Etik membahas aspek kebenaran,
tanggungjawab, dan peran matematika dalam kehidupan, sedangkan estetika
membahas terkait keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan yang bisa
mempengaruhi aspek-aspek lain . Misalnya jika seseorang mempelajari dan
menerapkan matematika hanya untuk dirinya sendiri, maka hal yang demikian
pengetahuan matematika bersifat instrinsik
4.
Ontologi pendidikan matematika dapat
diartikan sebagai usaha meninjau pendidikan matematika dari sudut pandang
hakikat atau maknanya. Dalam hal ini, pendidikan matematika di sekolah
hendaknya diarahkan kepada peningkatan kemampuan berpikir dan pemecahan
masalah. Lebih lanjut, terdapat perbedaan antara matematika sebagai ilmu dan
matematika sekolah (Sumardyono, 2004: 43). Perbedaan tersebut terletak pada
penyajian, pola pikir, keterbatasan semesta, dan tingkat keabstrakan. Maka
dapat dikatakan bahwa matematika sekolah lebih difokuskan pada pembentukan
nalar dan sikap matematis dalam diri siswa melalui kegiatan-kegiatan yang
dilakukan. Maka matematika sekolah tidak harus selalu diawali dengan definisi, aksioma,
ataupun teorema, karena pada dasarnya matematika sekolah merupakan kegiatan
mencari pola/hubungan dari konsep-konsep matematika dan kegiatan pemecahan
masalah. Selain itu, pendidikan matematika di sekolah juga harus
mempertimbangkan tahap-tahap perkembangan kognitif peserta didik. Hal tersebut
dikarenakan peserta didik dapat belajar dengan optimal jika sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Dengan demikian, pendidikan matematika dimulai
dengan memahami ontologi matematika sekolah, misalnya dengan memahami hakikat
matematika sekolah dan karakteristik matematika sekolah yang disesuaikan dengan
tingkat perkembangan intelektual peserta didik.
5.
Epistemologi berkaitan dengan metode.
Maka epistemologi pendidikan matematika berkaitan dengan bagaimana cara atau
metode yang digunakan oleh pendidik dalam membelajarkan peserta didiknya. Dalam
hal ini, dengan menjadikan peserta didik sebagai pusat dan subjek pembelajaran,
karena pada hakikatnya belajar merupakan kebutuhan dari peserta didik itu
sendiri. Dengan begitu, peserta didik dituntun untuk aktif dalam setiap
kegiatan pembelajaran dalam rangka mengkonstruksi pengetahuan menurut dirinya
sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode yang baik digunakan dalam
pembelajaran adalah metode yang dapat memudahkan siswa dalam memahami konsep
matematika, misalnya penggunaan metode pembelajaran saintifik yang dapat
membantu siswa menemukan konsep melalui kegiatan penemuan
kembali/percobaan/eksperimen.
6.
Secara filosofis, aksiologi pendidikan
matematika membahas mengenai hakikat nilai atau value dari pendidikan
matematika. Dalam hal ini, berlangsungnya proses belajar mengajar di sekolah
tidak hanya bertujuan untuk menjadikan peserta didik unggul dari aspek
kognitif, tetapi juga unggul pada aspek afektif dan psikomotorik. Sehingga
pendidik memiliki peranan penting dalam proses belajar mengajar. Pendidik tidak
hanya terfokus pada aspek kognitif, tetapi juga mengutamakan nilai-nilai
karakter yang meliputi etik, estetika, sopan santun dan lain sebagainya. Hal
tersebut bertujuan agar pengetahuan matematika yang diperoleh dapat diterapkan
atau digunakan untuk hal-hal yang baik.
7.
Herminitika matematika tujuannya adalah
mengungkap makna. Maka herminitika matematika dapat diartikan sebagai usaha
mengungkap makna dari kenyataan matematika yang tertulis atau matematika
sebagai data empiris. Dalam konteks filsafat, herminitika matematika dapat
didefinisikan sebagai dimensi refleksif dari diri subjek yang bersifat inheren
di dalam usahanya secara aktif untuk memproduksi proporsi-proporsi yang
berkaitan dengan kenyataan matematika di dalam ruang dan waktu. Dalam hal ini,
di satu sisi herminitika matematika memberi jaminan akan kemampuan subjek diri
mengungkap kenyataan matematika tetapi di sisi lain memberikan rambu-rambu
sampai batas mana subjek diri berkehendak mengungkap kenyataan di dalam
dunia-dunia lain selain dari pada dunia dirinya (Marsigit dkk, 2015:180-181)
8.
Menurut Marsigit dkk (2015:219),
hermenitika pendidikan matematika dapat digambarkan sebagai garis lurus dan
melingkar. Dalam pembelajaran matematika, terdapat dua hal didalamnya, yaitu
teori dan praktik. Dengan memandang teorinya, pembelajaran matematika dapat
diibaratkan sebagai garis lurus. Pembelajaran matematika akan terus berjalan
maju dan tidak dapat terulang. Walaupun terulang, hal tersebut tidak akan sama
karena berbeda dalam ruang dan waktu. Sedangkan secara praktiknya, pembelajaran
matematika diibaratkan sebagai lingkaran spiral. Hal ini berarti pembelajaran
matematika saling terkait dan tidak terputus. Semakin besarnya lingkaran spiral
menandakan bahwa permasalahan dalam pembelajaran matematika semakin kompleks,
sehingga semakin dalam pemahaman seseorang terhadap konsep matematika semakin
kompleks permasalahan yang ditemukan. Misalnya, di bangku Sekolah Dasar, siswa
diajarkan mengenai keliling dan luas lingkaran. Di bangku SMP, siswa juga
mempelajari keliling dan luas lingkaran. Hal yang membedakan materi Lingkaran
Sekolah Dasar dan materi Lingkaran SMP terletak pada keluasan dan kedalaman
materi yang diajarkan serta semakin kompleksnya masalah yang diajukan.
9.
Phenomenologi adalah aliran filsafat
yang menjadikan fenomena sebagai pusatnya. Phenomenologi
merupakan pendekatan filsafat yang menyelidiki kesadaran dan objek-objek
kesadaran. Maka phenomenologi matematika dapat diartikan sebagai suatu tinjauan
terhadap relasi matematika sebagai subjek dari prinsip-prinsip matematika
sebagai objek. Dalam hal ini, sejauh mana relasi-relasi subjek tersebut, apakah
hanya menemukan, mereproduksi atau memfotokopi konsep-konsep dan
prinsip-prinsip matematika dari relasi tanpa terdapat hubungan saling timbal
balik (intersional) ataukah terdapat hubungan korelatif yang erat antara
kesadaran subjek dengan prinsip-prinsip matematika sebagai fenomena sedemikian
sehingga tidak ada matematika tanpa kesadaran dan tidak ada kesadaran matematis
tanpa fenomena matematika. Filsafat matematika adalah tentang persoalan dasar-dasar
logis matematika, dan hakikat angka, bukti, dan sebagainya, sedangkan phenomenologi
matematika adalah tentang matematika sebagai sebuah aktivitas kesadaran dan
juga tentang pengalaman sewaktu melakukan matematika. Contohnya adalah
fenomenologi bilangan. ada kisah yang dikisahkan Imam Ali yang ditanya oleh
pendeta Yahudi, “bilangan mana yang habis dibagi satu sampai sepuluh?” kemudian
Ali menjawab kalikanlah jumlah harian dalam seminggu (30 x 12 x 7 = 2520). Hal
ini menunjukkan bahwa matematika berkorelasi dengan alam raya, sehingga
kebenaran rumus-rumus matematika berhubungan secara harmonis dan simetris
dengan kebenaran alam raya.
10.
Phenomenologi
memperlihatkan proses memperoleh ilmu pengetahuan dan kemampuan mengetahui
sebagai perjalanan jiwa melalui gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai
kepada pengetahuan yang bersifat mutlak. Phenomenologi
menurut Husserl menekankan pada watak intensional kesadaran, tanpa mengandaikan
praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Maka phenomenology
pendidikan matematika dapat terjadi dalam proses belajar peserta didik. Ketika
peserta didik mempelajari suatu hal yang baru atau untuk mengetahui fenomena
matematika, segala pemahaman-pemahaman yang telah dimiliki mengenai matematika
ditangguhkan untuk sementara pada suatu tempat yang disebut epoche, kemudian berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pemahaman-pemahaman yang ada sebelumnya. Contohnya adalah ketika pendidik
membelajarkan teorema Phytagoras. Maka segala pemahaman-pemahaman yang telah
dimiliki oleh peserta didik mengenai teorema Phytagoras ditangguhkan terlebih
dahulu, kemudian berusaha membuktikan kebenaran bahwa pada segitiga siku-siku
kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat dari sisi siku-sikunya.
Daftar
Pustaka:
Marsigit dkk. (2015). Filsafat Matematika dan Praksis Pendidikan
Matematika. Yogyakarta: UNY Press.
Sumardyono. (2004). Karakteristik
Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika. Paket Pembinaan Penataran. Yogyakarta :
PPPG Matematika..
https://www.academia.edu/5536142/ONTOLOGI_-_Revisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar