Selasa, 17 November 2015

Refleksi Perkuliahan 2 : Filsafat Pendidikan Matematika



Dimensi Ruang dan Waktu dalam Kacamata Filsafat

Perkuliahan kedua mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 21 Oktober 2015 pukul 12.40 – 14.10 bertempat di Ruang PPG1 FMIPA UNY.
Seperti biasa, perkuliahan diawali dengan tes jawab singkat dan dilanjutkan dengan melakukan tanya-jawab oleh mahasiswa kepada Bapak Marsigit. Pertanyaan pertama disampaikan oleh Saudara Tangguh Yudha Pamungkas yang menanyakan “Bahwasanya peserta didik yang mengalami kesulitan belajar adalah peserta didik yang terkendala dalam menembus ruang dan waktu, secara filsafat bagaimana prosedur belajar tersebut?” Secara filsafat, ketika peserta didik salah dalam menjawab, maka salahnya itu juga berarti benar. Hal tersebut ada alirannya, yaitu fallibisme. Aliran fallibisme mengungkapkan bahwa sesuatu tidak mutlak benar dan bisa salah. Aliran tersebut dapat membela kaula muda dari kesemena-menaan orangtua. Misalnya, siswa SD mendapatkan nilai nol pada tes yang dilakukan oleh gurunya. Hal tersebut bernilai benar, karena siswa SD belum diberi pengalaman belajar oleh gurunya. Sehingga salahnya siswa menjawab itu bernilai benar. Itulah filsafat, dan orang awam tidak mengerti mengenai aliran tersebut. Salah bernilai benar itu merupakan salah satu metafisik (tersembunyi). Metafisik artinya dibalik yang fisik. Dengan kata lain, sembunyi dibalik kalimat, penampakan, atau bahkan dibalik diri seseorang. Misalnya, dibalik tertawanya seseorang yang mendapatkan nilai nol tersembunyi perasaan sedih di hatinya.

Sepandai-pandai orang berfilsafat adalah yang mudah dipahami oleh orang awam. Sama halnya dalam pendidikan matematika. Orang yang mengerti/memahami matematika tetapi ia kesulitan untuk menyampaikannya kepada orang lain, maka sama saja jika ia tidak mengerti matematika. Maka melalui elegi-elegi yang dibuat oleh Bapak Marsigit, Beliau mengenalkan filsafat dengan metode yang mudah dipahami oleh orang awam. Dengan membaca elegi-elegi tersebut, secara tidak langsung kita dapat dikatakan telah berfilsafat. Secara filsafat, gagal diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Maka dalam filsafat tidak mengenal kegagalan, karena gagal adalah istilah psikologi. Segala sesuatunya harus disesuaikan dengan ruang dan waktu. Misalnya 4 x 6 adalah Rp50.000,00. Jika obrolan tersebut berlangsung di studio foto, maka pernyataan tersebut bernilai benar. Maka berfilsafat itu peduli akan ruang dan waktu. Orang yang sukses adalah yang berhasil menembus ruang dan waktu. Suksesnya A berarti sukses menembus ruang dan waktunya A, beserta komponennya. Segala ciptaan di alam semesta ini menembus ruang dan waktu. Binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan  batu pun menembus ruang dan waktu. Misalnya, “Kita duduk di batu itu kamis kemarin”. Kalimat tersebut menunjukkan dimensi ruang.
Manusia yang berbudaya dan berpendidikan tentu menembus ruang dan waktunya masing-masing, Itulah yang dipelajari dalam filsafat. Misalnya “statistik” dalam matematika itu data, tetapi jika di sekolah “statistik” adalah siswa. Jika dalam konteks filsafat, maka “statistik” itu berarti yang “ada”. Jika dalam konteks spiritual, “statistik” berarti ciptaan Tuhan. Sama halnya dengan mengajar di perguruan tinggi dan di SD itu berbeda. Mengajar matematika di SD tidaklah cocok jika menggunakan definisi, karena anak-anak belajar sesuatu tidak diawali dengan definisi. Jadi, segala aktvitas yang kita lakukan dalam filsafat haruslah peduli dengan ruang dan waktu. Dalam kacamata filsafat, material mengajar matematika itu adalah buku matematika, formalnya adalah ketentuan, normatifnya adalah aturan, dan spiritualnya adalah firman Tuhan. Jika kita belajar filsafat, maka kita harus sopan dan santun terhadap filsafat itu sendiri. Agar bisa sopan dan santun, maka kita harus mengerti terlebih dahulu mengenai filsafat. Hal tersebut tidak hanya berlaku ketika belajar filsafat, tetapi juga berlaku untuk semuanya dalam dimensi ruang dan waktu.
Pertanyaan selanjutnya dikemukakan oleh Saudara Anwar Rifa’I yang menanyakan “Bagaimana cara paling efektif untuk belajar filsafat?”
Menanggapi pertanyaan tersebut, Bapak Marsigit mengatakan bahwa berfilsafat berarti membebaskan diri dari mitos-mitos. Mitos-mitos akan bercokol dalam diri seseorang jika ia tidak mau belajar dan berpikir. Selain itu, Beliau juga mengatakan bahwa kodratnya manusia itu adalah rata-rata. Maksudnya, orang yang mau belajar akan pandai sedangkan orang yang tidak mau belajar akan tetapp bodoh. Untuk itu, ilmu akan diperoleh jika kita mau berusaha, janganlah pesimis dan over optimis dalam menghadapi setiap keadaan. Sebagai kalimat penutup dalam perkuliahan, Beliau mengatakan bahwa tiada cara/metode  yang terbaik untuk mendidik dari sisi dunia, karena ada berbagai metode pembelajaran yang dapat digunakan. Namun, cara terbaik yang dapat kita lakukan adalah dari sisi spiritual yang sesuai dengan agama kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar