Dimensi Ruang dan Waktu dalam
Kacamata Filsafat
Perkuliahan
kedua mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang diampu oleh Prof. Dr.
Marsigit, M.A. dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 21 Oktober 2015 pukul 12.40
– 14.10 bertempat di Ruang PPG1 FMIPA UNY.
Seperti
biasa, perkuliahan diawali dengan tes jawab singkat dan dilanjutkan dengan
melakukan tanya-jawab oleh mahasiswa kepada Bapak Marsigit. Pertanyaan pertama
disampaikan oleh Saudara Tangguh Yudha Pamungkas yang menanyakan “Bahwasanya
peserta didik yang mengalami kesulitan belajar adalah peserta didik yang
terkendala dalam menembus ruang dan waktu, secara filsafat bagaimana prosedur
belajar tersebut?” Secara filsafat, ketika peserta didik salah dalam menjawab,
maka salahnya itu juga berarti benar. Hal tersebut ada alirannya, yaitu
fallibisme. Aliran fallibisme mengungkapkan bahwa sesuatu tidak mutlak benar
dan bisa salah. Aliran tersebut dapat membela kaula muda dari kesemena-menaan
orangtua. Misalnya, siswa SD mendapatkan nilai nol pada tes yang dilakukan oleh
gurunya. Hal tersebut bernilai benar, karena siswa SD belum diberi pengalaman
belajar oleh gurunya. Sehingga salahnya siswa menjawab itu bernilai benar.
Itulah filsafat, dan orang awam tidak mengerti mengenai aliran tersebut. Salah
bernilai benar itu merupakan salah satu metafisik (tersembunyi). Metafisik
artinya dibalik yang fisik. Dengan kata lain, sembunyi dibalik kalimat,
penampakan, atau bahkan dibalik diri seseorang. Misalnya, dibalik tertawanya
seseorang yang mendapatkan nilai nol tersembunyi perasaan sedih di hatinya.
Sepandai-pandai
orang berfilsafat adalah yang mudah dipahami oleh orang awam. Sama halnya dalam
pendidikan matematika. Orang yang mengerti/memahami matematika tetapi ia kesulitan
untuk menyampaikannya kepada orang lain, maka sama saja jika ia tidak mengerti
matematika. Maka melalui elegi-elegi yang dibuat oleh Bapak Marsigit, Beliau mengenalkan
filsafat dengan metode yang mudah dipahami oleh orang awam. Dengan membaca
elegi-elegi tersebut, secara tidak langsung kita dapat dikatakan telah
berfilsafat. Secara filsafat, gagal diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak
sesuai dengan ruang dan waktu. Maka dalam filsafat tidak mengenal kegagalan,
karena gagal adalah istilah psikologi. Segala sesuatunya harus disesuaikan
dengan ruang dan waktu. Misalnya 4 x 6 adalah Rp50.000,00. Jika obrolan tersebut
berlangsung di studio foto, maka pernyataan tersebut bernilai benar. Maka berfilsafat
itu peduli akan ruang dan waktu. Orang yang sukses adalah yang berhasil
menembus ruang dan waktu. Suksesnya A berarti sukses menembus ruang dan
waktunya A, beserta komponennya. Segala ciptaan di alam semesta ini menembus
ruang dan waktu. Binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan batu pun menembus ruang dan waktu. Misalnya, “Kita
duduk di batu itu kamis kemarin”. Kalimat tersebut menunjukkan dimensi ruang.
Manusia
yang berbudaya dan berpendidikan tentu menembus ruang dan waktunya
masing-masing, Itulah yang dipelajari dalam filsafat. Misalnya “statistik”
dalam matematika itu data, tetapi jika di sekolah “statistik” adalah siswa.
Jika dalam konteks filsafat, maka “statistik” itu berarti yang “ada”. Jika dalam
konteks spiritual, “statistik” berarti ciptaan Tuhan. Sama halnya dengan
mengajar di perguruan tinggi dan di SD itu berbeda. Mengajar matematika di SD
tidaklah cocok jika menggunakan definisi, karena anak-anak belajar sesuatu
tidak diawali dengan definisi. Jadi, segala aktvitas yang kita lakukan dalam
filsafat haruslah peduli dengan ruang dan waktu. Dalam kacamata filsafat,
material mengajar matematika itu adalah buku matematika, formalnya adalah
ketentuan, normatifnya adalah aturan, dan spiritualnya adalah firman Tuhan. Jika
kita belajar filsafat, maka kita harus sopan dan santun terhadap filsafat itu
sendiri. Agar bisa sopan dan santun, maka kita harus mengerti terlebih dahulu
mengenai filsafat. Hal tersebut tidak hanya berlaku ketika belajar filsafat,
tetapi juga berlaku untuk semuanya dalam dimensi ruang dan waktu.
Pertanyaan
selanjutnya dikemukakan oleh Saudara Anwar Rifa’I yang menanyakan “Bagaimana
cara paling efektif untuk belajar filsafat?”
Menanggapi
pertanyaan tersebut, Bapak Marsigit mengatakan bahwa berfilsafat berarti
membebaskan diri dari mitos-mitos. Mitos-mitos akan bercokol dalam diri
seseorang jika ia tidak mau belajar dan berpikir. Selain itu, Beliau juga
mengatakan bahwa kodratnya manusia itu adalah rata-rata. Maksudnya, orang yang
mau belajar akan pandai sedangkan orang yang tidak mau belajar akan tetapp
bodoh. Untuk itu, ilmu akan diperoleh jika kita mau berusaha, janganlah pesimis
dan over optimis dalam menghadapi setiap keadaan. Sebagai kalimat penutup dalam
perkuliahan, Beliau mengatakan bahwa tiada cara/metode yang terbaik untuk mendidik dari sisi dunia,
karena ada berbagai metode pembelajaran yang dapat digunakan. Namun, cara
terbaik yang dapat kita lakukan adalah dari sisi spiritual yang sesuai dengan
agama kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar